Siger, atau dalam bahasa Lampung saibatin adalah Sigokh, memang sangat identik dengan
Lampung, ini bukan tanpa alasan. Dalam suku Lampung siger merupakan suatu benda
yang sangat penting, baik yang beradat Saibatin maupun yang beradat Pepadun.
Siger merupakan mahkota keagungan dalam adat budaya Lampung dan tingkat
kehidupan terhormat suku Lampung. Biasanya, Siger biasanya digunakan oleh pengantin
perempuan suku Lampung pada acara pernikahan ataupun acara adat budaya
lainnya.
Kini siger
bukan hanya digunakan sebagai mahkota pada acara adat Suku Lampung, namun juga
telah menjadi icon berupa hiasan dan
lambang kebanggaan Provinsi Lampung, ini dapat dilihat seperti di kabupaten
Lampung Selatan, tepatnya di dekat pelabuhan Bakauheni telah dibangun sebuah
menara berbentuk siger dengan nama Menara Siger, di kabupaten-kabupaten lain
pun banyak menggunakan siger sebagai hiasan pada tugu-tugu dan kantor-kantor
pemerintahan dan perusahaan. Kemudian bebarapa tahun ini di kota Bandar
Lampung, setiap bangunan seperti toko,ruko,pusat perbelanjaan dan setiap
bangunan yang berada di jalan kota Bandar Lampung telah diwajibkan menggunakan
hiasan siger diatas pintu masuk atau diatas (atap) pada bangunannya.
Sang Bumi Rua Jurai adalah semboyan provinsi Lampung, dengan
pengertian : “Di tanah (suku) Lampung
terdapat satu kesatuan dari dua adat yang berbeda, yaitu Lampung Pesisir dengan
adat Saibatin dan Lampung Abung dengan adat Pepadun”. Namun ketika kita
memperhatikan bentuk siger dari masing-masing dari keduanya ternyata ada
perbedaan antara Siger Saibatin dan Siger Pepadun. Hal yang paling
mencolok yaitu lekuk pada Siger, untuk yang beradat Saibatin siger yang
digunakan memiliki lekuk berjumlah tujuh (Sigokh/Siger Lekuk Pitu) sedangkan
untuk yang beradat pepadun menggunakan siger dengan lekuk berjumlah Sembilan (Siger
Lekuk Siwo/Siwa). Untuk itu dalam kesempatan ini saya coba menuliskan
hasil dari analisis saya yang diharapkan mampu mencari titik temu dari
perbedaan diantara keduanya:
Siger
Saibatin
Seperti
yang dilihat pada gambar diatas bahwa siger pada suku Lampung yang beradatkan
saibatin memiliki lekuk tujuh dan dengan hiasan batang/pohon sekala di
masing-masing lekuknya, ini memiki makna ada tujuh adok/gelar pada masyarakat
pesisir yaitu Suttan/dalom, Raja jukuan/dipati, Batin, Radin, Minak, Kimas dan
Mas/inton, gelar/adok ini hanya dapat digunakan oleh keturunan lurus saja,
dengan kata lain masih kental dengan nuansa kerajaan, dimana kalau bukan anak
raja dia tidak berhak menggunakan gelar/adok raja begitu juga dengan gelar/adok
lainnya.
Sedangkan bentuknya, siger saibatin sangan mirip dengan
Rumah Gadang kerajaan Pagaruyung seperti Istano Si Linduang Bulan, yaitu rumah
pusaka dari keluarga besar ahli waris dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja
Pagaruyung dan juga Museum Adityawarman di daerah Minangkabau, provinsi Sumatra
Barat, (lihat gambar dibawah). karena itulah maka adat budaya Lampung saibatin
mendapat pengaruh dari kerajaan Pagaruyung, hal ini sangat berkaitan dengan
sejarah berdirinya Paksi Pak Sekala Bekhak (Buay Bejalan Diway, Buay Pernong,
Buay Nyerupa dan Buay Belunguh), dimana pada masa masuknya islam di daerah
lampung pada masa kerajaan di tanah sekala bekhak, mendapat pengaruh dari
kerajaan pagaruyung yang di sebarkan oleh Ratu Ngegalang Paksi. Selain itu
banyak kesamaan antara adat saibatin dengan adat pagaruyung seperti pada saat
melangsungkan pernikahan, tata cara dan alat yang digunakan banyak
kemiripan.
Siger Pepadun
Siger
pepadun memiliki lekuk Sembilan yang berartikan ada Sembilan Marga yang bersatu
membentuk Abung Siwo Megou. Tapi bentuk dari siger pepadun sangat mirip dengan
buah sekala, hal ini pun bukan mustahil dikarenakan kerajaan sekala bekhak
merupakan cikal bakal ulun lampung, dan proses terbentuknya abung siwo megou
merupakan penyebaran orang lampung dari dataran tinggi Sekala Bekhak di Gunung
Pesagi. Ini dapat dilihat dari tambo Buay Bejalan Diway bahwa Ratu Dipuncak
meninggalkan kerajaan Sekala Bekhak untuk mencari daerah baru bersama
keluarganya, Ratu Dipuncak memiliki empat orang putra yaitu Unyi, Unyai, Subing
dan Nuban yang merupakan keturunan Paksi Buay Bejalan Diway serta lima Marga
lainnya yaitu Anak Tuha, Selagai, Beliyuk, Kunang dan Nyerupa yang merupakan
keturunan dari tiga Paksi lainnya sehingga menjadi Abung Siwo Mego. Namun
berbeda dengan siger pesisir yang mirip rumah gadang, siger pepadun justru
mirip dengan buah sekala.
Seiring dengan penyebaran penduduk
dan berdirinya beberapa kebuayan maka yang menggunakan adat pepadun bukan hanya
abung tetapi juga oleh kebuayan lain yang kemudian membentuk masyarakat adat
sendiri, seperti Megou Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji,
Puyang Tegamoan), Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat,
Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi),
serta Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu,
Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Bila diperhatikan lagi
yang menjadikan berbeda antara siger pepadun dan siger saibatin adalah pada
lekukan yang berada ditengah, pada siger pepadun ada tambahan dua kelopak
sekala sehingga jumlahnya menjadi Sembilan, dan hiasan buah sekala yang bertingkat.
Siger Tuha
(Tua)
Ini adalah Siger tua, merupakan siger yang digunakan pada
zaman animisme-hindu-budha. Ini masih dapat dijumpai karena masih ada yang
menyimpannya khususnya pada kesultanan paksi pak sekala bekhak. Pada zaman
dahulu siger tidak memiliki aturan pada jumlah lekuk yang digunakan, dan yang
boleh menggunakan hanya keturunan saibatin (bangsawan) saja atau sama dengan
mahkota pada raja-raja saja. pada siger tua jelas terlihat berbentuk buah
sekala dengan hiasan pohon sekala diatasnya. Ini membuktikan bahwa pada
dasarnya siger itu menggambarkan tentang sekala.
0 komentar:
Posting Komentar