Minggu, 26 Mei 2013
Cara Perawatan Sulam Usus
22.59
No comments
- Pisahkan dengan jenis pakaian lain
- Rendam sulam usus dengan sedikit detergen atau pelembut pakaian
- Diamkan selama 15 menit
- Peras sulam usus dengan lembut agar tidak merusak sulaman
- Jemur selama beberapa jam hingga setengah kering
- Setrika busana sulam usus dengan suhu sedang (agar
hasilnya baik, lapisi dulu dengan kain jadi setrika tidak langsung
menempel pada busana tersebut dan menghindari suhu panas yang berlebihan
sehingga bisa merusak busana)
- Lipat atau gantung busana sulam usus sesuai selera anda
Sejarah sulam usus
22.58
No comments
Pada awalnya, sulam usus adalah bagian dari seperangkat
pakaian adat pengantin wanita dari daerah Lampung. Sulam usus pada
awalnya berfungsi sebagai penutup bagian dada (bebe) di atas balutan
kain tapis. Selanjutnya, sulam usus dikreasikan sebagai baju, kebaya,
atau gaun dan dengan bawahan kain dapat membuat pakaian kita menjadi
serasi.
Sulam Usus adalah sulaman yang indah berbahan baku kain satin berbentuk usus ayam dengan motif yang khas.
Sulam Usus dirajut dengan benang emas dan adapula yang disertai dengan kaca dan uang logam kuno.
Sulam Usus merupakan salah satu contoh warisan nenek moyang.
Sulam Usus banyak diminati oleh masyarakat di daerah-daerah lokal maupun mancanegara.
Sulam Usus memiliki nilai jual yang tinggi.
Sulam Usus banyak dipasarkan di daerah-daerah dalam negeri seperti ; Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Sedangkan pemasaran ke luar negeri mencakup negara ; Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Di dalam negeri nilai penjualan sulam usus sangat tinggi. Sulam usus dihargai dari Rp.70.000; hingga Rp.500.000; per buah.
Dan tergantung dengan motifnya. Semakin sulit motifnya, maka akan semakin mahal harganya.
Namun pada saat ini, kerajinan sulam usus sudah semakin sedikit
yang menggeluti. Hal ini disebabkan oleh pengerjaannya yang rumit dan
membutuhkan kesabaran tinggi dalam proses pengerjaannya.
Contohnya saja : untuk membuat sebuah kebaya diperlukan waktu ± satu pekan pengrajutan.
Sulam usus saat ini banyak dikemas dalam berbagai bentuk.
Sulam usus banyak dipasarkan dalam bentuk:
baju kebaya, taplak meja, sarung bantal kursi, kopiah, maupun peci.
Isi dan arti siger
18.31
1 comment
SIGER
1. Warna Siger : Kuning emas
2. Arti Siger : Mahkota perlambang adat budaya dan dan tingkat kehidupan terhormat.
3. Kandungan Bentuk :
a. Banyaknya gerigi lancip berlekuk 9, sebagai lambing Sembilan sungai yang mengalir di Daerah Lampung, yaitu:
1) Way Semangka
2) Way Sekampung
3) Way Seputih
4) Way Pangubuan
5) Way Abung Sarem
6) Way Sungkai
7) Way Kanan (Umpu Besai)
8) Way Tulang Bawang
9) Way Mesuji
b. Di dalam bidang siger terdapat Bunga Melur (melati 4 buah, tiap bunga mempunyai 4 daun bunga yang berkelopak 5).
4. Dengan pengertian sebagai berikut:
a. Kuntum Bunga : yaitu 4 paksi asal Sekala Berak yang terdiri dari kekuasaan paksi:
1) Umpu Perenong
2) Umpu Belenguh
3) Umpu Bejalan di way
4) Umpu Nyerupa
5. Kelompok Daun Bunga:
Setelah berkembang dan tersebarnya masyarakat di seluruh Daerah Lampung, maka terbinalah 5 Daerah Keratuan yang masing-masing dipimpin oleh:
a. Ratu Dipuncak
b. Ratu Pemanggilan
c. Ratu Dipunggung
d. Ratu Dibalau
e. Ratu Darah Putih
6. Daun Bunga Skala yang terdapat pada puncak lengkungan siger atas dimana ujungnya mengenai tiang paying. Bunga Skala itu menjulang dari 4 daun kembangnya (dari bawah) yang mengandung pengertian sebagai berikut:
Menjulang dari 4 daun bunga:
Semua jurai yang berasal dari Sekala Berak yang dilambangkan oleh paksi pak mempunyai filsafat hidup Piil Pesenggiri. Bunga Sekala berdaun lima bahwa filsafat Piil Pesenggiri itu bertemali 5 alam pikiran sebagai berikut:
a. Piil Pesenggiri
Piil artinya berjiwa besar
Pesenggiri artinya menghargai diri
b. Juluk Adek
Juluk artinya gelar sebelum kawin
Adek artinya gelar setelah kawin
c. Nemui Nyimah
Nemui artinya terbuka hati menerima tamu
Nyimah artinya member dengan ikhlas
d. Nengah Nyappur
Nengah artinya suka berkenalan
Nyappur artinya pandai bergaul
e. Sakai Sambaian
Sakai artinya suka tolong menolong
Sambaian artinya bergotong royong
2. Arti Siger : Mahkota perlambang adat budaya dan dan tingkat kehidupan terhormat.
3. Kandungan Bentuk :
a. Banyaknya gerigi lancip berlekuk 9, sebagai lambing Sembilan sungai yang mengalir di Daerah Lampung, yaitu:
1) Way Semangka
2) Way Sekampung
3) Way Seputih
4) Way Pangubuan
5) Way Abung Sarem
6) Way Sungkai
7) Way Kanan (Umpu Besai)
8) Way Tulang Bawang
9) Way Mesuji
b. Di dalam bidang siger terdapat Bunga Melur (melati 4 buah, tiap bunga mempunyai 4 daun bunga yang berkelopak 5).
4. Dengan pengertian sebagai berikut:
a. Kuntum Bunga : yaitu 4 paksi asal Sekala Berak yang terdiri dari kekuasaan paksi:
1) Umpu Perenong
2) Umpu Belenguh
3) Umpu Bejalan di way
4) Umpu Nyerupa
5. Kelompok Daun Bunga:
Setelah berkembang dan tersebarnya masyarakat di seluruh Daerah Lampung, maka terbinalah 5 Daerah Keratuan yang masing-masing dipimpin oleh:
a. Ratu Dipuncak
b. Ratu Pemanggilan
c. Ratu Dipunggung
d. Ratu Dibalau
e. Ratu Darah Putih
6. Daun Bunga Skala yang terdapat pada puncak lengkungan siger atas dimana ujungnya mengenai tiang paying. Bunga Skala itu menjulang dari 4 daun kembangnya (dari bawah) yang mengandung pengertian sebagai berikut:
Menjulang dari 4 daun bunga:
Semua jurai yang berasal dari Sekala Berak yang dilambangkan oleh paksi pak mempunyai filsafat hidup Piil Pesenggiri. Bunga Sekala berdaun lima bahwa filsafat Piil Pesenggiri itu bertemali 5 alam pikiran sebagai berikut:
a. Piil Pesenggiri
Piil artinya berjiwa besar
Pesenggiri artinya menghargai diri
b. Juluk Adek
Juluk artinya gelar sebelum kawin
Adek artinya gelar setelah kawin
c. Nemui Nyimah
Nemui artinya terbuka hati menerima tamu
Nyimah artinya member dengan ikhlas
d. Nengah Nyappur
Nengah artinya suka berkenalan
Nyappur artinya pandai bergaul
e. Sakai Sambaian
Sakai artinya suka tolong menolong
Sambaian artinya bergotong royong
Sejarah Siger
18.29
No comments
Siger, atau dalam bahasa Lampung saibatin adalah Sigokh, memang sangat identik dengan
Lampung, ini bukan tanpa alasan. Dalam suku Lampung siger merupakan suatu benda
yang sangat penting, baik yang beradat Saibatin maupun yang beradat Pepadun.
Siger merupakan mahkota keagungan dalam adat budaya Lampung dan tingkat
kehidupan terhormat suku Lampung. Biasanya, Siger biasanya digunakan oleh pengantin
perempuan suku Lampung pada acara pernikahan ataupun acara adat budaya
lainnya.
Kini siger
bukan hanya digunakan sebagai mahkota pada acara adat Suku Lampung, namun juga
telah menjadi icon berupa hiasan dan
lambang kebanggaan Provinsi Lampung, ini dapat dilihat seperti di kabupaten
Lampung Selatan, tepatnya di dekat pelabuhan Bakauheni telah dibangun sebuah
menara berbentuk siger dengan nama Menara Siger, di kabupaten-kabupaten lain
pun banyak menggunakan siger sebagai hiasan pada tugu-tugu dan kantor-kantor
pemerintahan dan perusahaan. Kemudian bebarapa tahun ini di kota Bandar
Lampung, setiap bangunan seperti toko,ruko,pusat perbelanjaan dan setiap
bangunan yang berada di jalan kota Bandar Lampung telah diwajibkan menggunakan
hiasan siger diatas pintu masuk atau diatas (atap) pada bangunannya.
Sang Bumi Rua Jurai adalah semboyan provinsi Lampung, dengan
pengertian : “Di tanah (suku) Lampung
terdapat satu kesatuan dari dua adat yang berbeda, yaitu Lampung Pesisir dengan
adat Saibatin dan Lampung Abung dengan adat Pepadun”. Namun ketika kita
memperhatikan bentuk siger dari masing-masing dari keduanya ternyata ada
perbedaan antara Siger Saibatin dan Siger Pepadun. Hal yang paling
mencolok yaitu lekuk pada Siger, untuk yang beradat Saibatin siger yang
digunakan memiliki lekuk berjumlah tujuh (Sigokh/Siger Lekuk Pitu) sedangkan
untuk yang beradat pepadun menggunakan siger dengan lekuk berjumlah Sembilan (Siger
Lekuk Siwo/Siwa). Untuk itu dalam kesempatan ini saya coba menuliskan
hasil dari analisis saya yang diharapkan mampu mencari titik temu dari
perbedaan diantara keduanya:
Siger
Saibatin
Seperti
yang dilihat pada gambar diatas bahwa siger pada suku Lampung yang beradatkan
saibatin memiliki lekuk tujuh dan dengan hiasan batang/pohon sekala di
masing-masing lekuknya, ini memiki makna ada tujuh adok/gelar pada masyarakat
pesisir yaitu Suttan/dalom, Raja jukuan/dipati, Batin, Radin, Minak, Kimas dan
Mas/inton, gelar/adok ini hanya dapat digunakan oleh keturunan lurus saja,
dengan kata lain masih kental dengan nuansa kerajaan, dimana kalau bukan anak
raja dia tidak berhak menggunakan gelar/adok raja begitu juga dengan gelar/adok
lainnya.
Sedangkan bentuknya, siger saibatin sangan mirip dengan
Rumah Gadang kerajaan Pagaruyung seperti Istano Si Linduang Bulan, yaitu rumah
pusaka dari keluarga besar ahli waris dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja
Pagaruyung dan juga Museum Adityawarman di daerah Minangkabau, provinsi Sumatra
Barat, (lihat gambar dibawah). karena itulah maka adat budaya Lampung saibatin
mendapat pengaruh dari kerajaan Pagaruyung, hal ini sangat berkaitan dengan
sejarah berdirinya Paksi Pak Sekala Bekhak (Buay Bejalan Diway, Buay Pernong,
Buay Nyerupa dan Buay Belunguh), dimana pada masa masuknya islam di daerah
lampung pada masa kerajaan di tanah sekala bekhak, mendapat pengaruh dari
kerajaan pagaruyung yang di sebarkan oleh Ratu Ngegalang Paksi. Selain itu
banyak kesamaan antara adat saibatin dengan adat pagaruyung seperti pada saat
melangsungkan pernikahan, tata cara dan alat yang digunakan banyak
kemiripan.
Siger Pepadun
Siger
pepadun memiliki lekuk Sembilan yang berartikan ada Sembilan Marga yang bersatu
membentuk Abung Siwo Megou. Tapi bentuk dari siger pepadun sangat mirip dengan
buah sekala, hal ini pun bukan mustahil dikarenakan kerajaan sekala bekhak
merupakan cikal bakal ulun lampung, dan proses terbentuknya abung siwo megou
merupakan penyebaran orang lampung dari dataran tinggi Sekala Bekhak di Gunung
Pesagi. Ini dapat dilihat dari tambo Buay Bejalan Diway bahwa Ratu Dipuncak
meninggalkan kerajaan Sekala Bekhak untuk mencari daerah baru bersama
keluarganya, Ratu Dipuncak memiliki empat orang putra yaitu Unyi, Unyai, Subing
dan Nuban yang merupakan keturunan Paksi Buay Bejalan Diway serta lima Marga
lainnya yaitu Anak Tuha, Selagai, Beliyuk, Kunang dan Nyerupa yang merupakan
keturunan dari tiga Paksi lainnya sehingga menjadi Abung Siwo Mego. Namun
berbeda dengan siger pesisir yang mirip rumah gadang, siger pepadun justru
mirip dengan buah sekala.
Seiring dengan penyebaran penduduk
dan berdirinya beberapa kebuayan maka yang menggunakan adat pepadun bukan hanya
abung tetapi juga oleh kebuayan lain yang kemudian membentuk masyarakat adat
sendiri, seperti Megou Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji,
Puyang Tegamoan), Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat,
Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi),
serta Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu,
Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Bila diperhatikan lagi
yang menjadikan berbeda antara siger pepadun dan siger saibatin adalah pada
lekukan yang berada ditengah, pada siger pepadun ada tambahan dua kelopak
sekala sehingga jumlahnya menjadi Sembilan, dan hiasan buah sekala yang bertingkat.
Siger Tuha
(Tua)
Ini adalah Siger tua, merupakan siger yang digunakan pada
zaman animisme-hindu-budha. Ini masih dapat dijumpai karena masih ada yang
menyimpannya khususnya pada kesultanan paksi pak sekala bekhak. Pada zaman
dahulu siger tidak memiliki aturan pada jumlah lekuk yang digunakan, dan yang
boleh menggunakan hanya keturunan saibatin (bangsawan) saja atau sama dengan
mahkota pada raja-raja saja. pada siger tua jelas terlihat berbentuk buah
sekala dengan hiasan pohon sekala diatasnya. Ini membuktikan bahwa pada
dasarnya siger itu menggambarkan tentang sekala.
Cara menjaga kelestarian kain tapis
09.32
No comments
Ada beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk menjaga, melindungi, dan mengembangkan Kain Tapis, di
antaranya adalah mematenkan hak cipta, sosialisasi Kain Tapis, dan
eksplorasi nilai ekonomis Kain Tapis :
Pertama, mematenkan hak
cipta Kain Tapis. Kelalaian mematenkan hak cipta Kain Tapis tidak saja
dapat menghilangkan hak ekonomi yang melekat pada kain, tetapi juga
hilangnya kebanggaan masyarakat karena diklaim oleh pihak lain.
Seringkali kita sangat bangga dengan banyaknya warisan budaya yang kita
miliki, tetapi terkadang hak ekonominya tidak kita miliki sehingga
warisan budaya tersebut tidak bisa digunakan untuk menopang
kesejahteraan pemilik warisan budaya tersebut.
Kedua, Sosialisasi Kain
Tapis. Ketika tulisan ini dibuat, cukup sulit untuk mencari referensi
tentang Kain Tapis. Dari beberapa referensi yang penulis dapatkan,
hampir semua isinya sama. Minimnya referensi tentang Kain Tapis ternyata
juga pararel dengan minimnya orang-orang Lampung, khususnya generasi
mudanya, yang mengetahui kain ini. Beberapa orang Lampung yang penulis
hubungi misalnya, hanya mengetahui bahwa Kain Tapis adalah kain
tradisional Lampung. Kondisi ini tentu cukup memprihatinkan dan
berbahaya terhadap kelangsungan eksistensi Kain Tapis. Oleh karena itu,
perlu segera dilakukan sosialisasi, khususnya kepada siswa-siswa
sekolah. Misalnya dengan menjadikan Kain Tapis sebagai salah satu mata
pelajaran muatan lokal. Melalui cara ini, para siswa tidak hanya
mengetahui bentuk formal (fisik) Kain Tapis, tetapi juga nilai-nilai
yang dikandungnya.
Ketiga, agar masyarakat mempunyai ketertarikan untuk
melestarikan dan mengembangkan Kain Tapis, maka keberadaan Kain Tapis
harus memberikan manfaat bagi peningkatan kesehjateraan masyarakat. Oleh
karena itu pemerintah dan lembaga terkait harus bekerjasama untuk
menciptakan lingkungan usaha yang kondusif dan memberikan kemudahan
dalam bidang produksi, permodalan, distribusi, dan pemasaran.
Jumat, 24 Mei 2013
Nilai-nilai dalam kain tapis
19.31
No comments
Nilai-nilai yang ada dalam kain tapis
Kain Tapis
merupakan salah satu bentuk pencapaian peradaban Lampung. Di dalam kain ini,
tersimpan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Lampung.
Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah nilai sakral, stratifikasi sosial,
sejarah, pemahaman terhadap alam, kreativitas, inklusivitas, dan nilai
ekonomis.
Pertama, nilai sakral. Kain Tapis biasanya dipakai dalam setiap upacara adat dan
keagamaan, dan merupakan perangkat adat yang serupa pusaka keluarga. Kain ini
bagi masyarakat Lampung merupakan simbol kesucian. Kain ini diyakini dapat
melindungi pemakainya dari segala macam kotoran luar. Sebagai simbol kesucian,
maka proses pembuatan Kain Tapis dilakukan secara cermat dan melalui
tahapan-tahapan yang cukup rumit. Nilai-nilai sakral ini juga dapat
dilihat pada bentuk motifnya yang mengandung makna-makna simbolis-filosofis,
seperti motif pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia, dan adanya
aturan-aturan kapan dan pada acara apa kain ini digunakan.
Kedua, stratifikasi sosial. Kain ini juga berfungsi sebagai penanda status
sosial seseorang. Artinya, dengan melihat Kain Tapis yang digunakan, maka kita
akan mengetahui status sosial orang tersebut. Misalnya dalam upacara
pengambilan gelar adat ada orang yang menggunakaan Tapis Tuho, maka orang
tersebut dipastikan mempunyai status sosial yang tinggi. Menurut aturan adat,
yang berhak menggunakan Tapis Tuho adalah isteri dari orang yang sedang
mengambil gelar sultan, orang tua (mepahao) yang sedang mengambil gelar
sultan, dan atau istri sultan yang menghadiri upacara pengambilan gelar kerabat
dekatnya.
Ketiga, nilai sejarah dan pemahaman terhadap alam. Dengan
melihat motif Kain Tapis, maka kita akan mengetahui sejarah perkembangan
masyarakat Lampung, dan sekaligus mengetahui kondisi alam di mana masyarakat
Lampung hidup. Alam bagi para
pengrajin Tapis merupakan sumber inspirasi bagi penciptaan motif-motif.
Misalnya penggunaan beragam jenis transportasi laut telah memberi ide penggunaan
motif hias berupa aneka macam bentuk kapal. Dengan melihat motif-motif kapal
tersebut, maka kita akan mengetahui bahwa sejak zaman dahulu masyarakat Lampung
telah mengenal beragam bentuk dan konstruksi kapal.
Keempat, nilai kreativitas dan inklusivitas. Ragam hias dan motif pada Kain Tapis
merupakan bukti dari kreativitas masyarakat Lampung. Mereka menghayati alam dan
”melukiskannya” dalam kain. Selain itu, Kain Tapis juga merupakan manifestasi
dari akulturasi antara antara unsur-unsur hias kebudayaan tempatan (lama)
dengan unsur-unsur hias kebudayaan lain (baru). Terjadinya akulturasi ini
merupakan sifat kebudayaan Lampung yang inklusif. Para pendahulu orang Lampung
mengajarkan kepada kita agar tidak merubah khazanah kebudayaan sendiri dan
merubahnya dengan kebudayaan orang lain, tetapi menjadikan kebudayaan lain
sebagai sumber inspirasi untuk memperkaya kebudayaan sendiri.
Kelima, nilai ekonomi. Dalam paradigma ekonomi kreatif, maka kreativitas
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hal inilah yang nampaknya mulai disadari oleh
masyarakat Lampung. Dengan kreativitas dan inovasi, misalnya menciptakan Kain
Tapis yang sesuai kebutuhan pasar, maka Kain Tapis dapat menjadi sumber ekonomi
bagi masyarakat Lampung. Sebagai sumber ekonomi, maka Kain Tapis tidak hanya
memberikan kebanggaan secara budaya (imateriil) kepada masyarakat,
tetapi juga yang bersifat ekonomi (materiil). Namun pengembangan nilai ekonomis
Kain Tapis harus dilakukan secara hati-hati dan cermat agar Kain Tapis tidak
tercerabut dari akar lokalitasnya.
Langganan:
Postingan (Atom)